
Seorang kawan, yang pernah studi di Amerika Serikat, mengajukan pertanyaan serius kepada saya yang hanya pernah sekolah di pedalaman Indonesia. Pertanyaannya mengenai perbedaan janda muda dan janda tua. Oh, maaf, bukan itu. Dia tanya soal klasifikasi pidana umum dan pidana khusus. Bertanya soal itu kepada saya, jelas sekali dia error in persona, serupa orang yang bertanya tentang jenis-jenis hamburger kepada pemangsa tempe mendoan!
Awalnya dia mencermati pengklasifikasian putusan di situs putusan.mahkamahagung.go.id. Di sana, putusan pidana yang dibuat Mahkamah Agung dibagi jadi dua jenis: pidana umum (pidum) dan pidana khusus (pidsus). Tentu tidak ada jenis putusan pidumsus alias pidana umum setengah khusus, sebagaimana tak ada satupun hakim agung yang terindikasi berjeniskelamin dobel.
“Kenapa suatu pidana dimasukkan umum atau khusus? Ente punya aturannya nggak? Atau klasifikasinya cuma pidum yang ada di KUHP dan pidsus yang ada di UU tersendiri?” kawanku bertanya lewat fasilitas chatting yang disediakan si-kafir-baik-hati bernama Mark Zuckerberg.
Sebagai pemangsa tempe mendoan yang tahu diri, saya bilang padanya: Jika ingin tahu rincian jenis hamburger, eh perkara pidana, bacalah laporan tahunan MA.
“Waduh,” dia segera menyahut, ”di situs MA, laporan tahunan terbaru tahun 2014. Dan gak bisa diakses.”
“Sudah kuduga,” jawabku, tapi hanya dalam hati. Dalam chatting kubalas, “Ada di situs pembaruan peradilan.”
Perbedaan situs MA dan situs pembaruan peradilan ialah situs MA dikelola oleh aparatur negara dan dibiayai oleh negara, sedangkan situs pembaruan peradilan dikelola oleh masyarakat sipil dan dibiayai oleh lembaga donor darah. Ehm, maksud saya, lembaga donor dollar.
“Oke. Langsung meluncur,” kata kawan saya.
Saya tidak tahu apakah dia akan meluncur ke situs internet yang saya sebut tadi atau justru meluncur ke situs purbakala untuk mengamati kerangka pithecanthropus erectus yang diduga suka coitus interuptus.
Yang saya tahu, di MA, perkara pidana khusus lebih banyak dan lebih beragam ketimbang perkara pidana umum. Kita ambil contoh perkara di tingkat kasasi. Sepanjang tahun 2016, perkara kasasi pidana khusus berjumlah 3.106 dan ada 35 jenis. Jangan kira perkara pidana khusus itu hanya perkara korupsi, narkoba dan terorisme. Jenisnya ada 35 lho. Di antaranya KDRT. Misalnya jika kau menempeleng pantat suamimu pakai linggis.
Pada periode yang sama, perkara kasasi pidana umum hanya 1.629 dan hanya 18 jenis. Perkara yang paling banyak ialah pencurian, penggelapan dan pembunuhan. Contohnya, kau curi hati seorang mahasiswi, lalu kau ajak gelap-gelapan, kemudian kau bunuh masa depannya. Sampai di rumah, si mahasiswi bilang ke orang tuanya, “Saya baru saja mengalami kecelakaan sejarah.” Wew!
Terus, bagaimana cara MA mengklasifikasikan pidana umum dan pidana khusus itu? Apa ada aturannya? Kau tidak akan menemukan jawaban atas pertanyaan itu di situs MA maupun di laporan tahunan MA. Jawabannya ada di dokumen Standar Penomoran Perkara yang dibikin MA tahun 2013 untuk lingkungan peradilan umum. Jika kau belum tahu di mana dokumen itu berada, tanyalah Om Google yang kini sedang pelotot-pelototan dengan Tante Sri Mulyani itu.
Dari Standar Penomoran Perkara Peradilan Umum itu kita tahu, pembedaan tindak pidana umum dan tindak pidana khusus ternyata simpel. Digolongkan sebagai pidana umum jika diatur di KUHP dan digolongkan sebagai pidana khusus jika diatur di luar KUHP. Pengklasifikasian demikan itu, di satu sisi, tentu saja memudahkan aparatur pengadilan, tetapi di sisi lain membikin pening orang luar pengadilan—dan kepeningan itu kian menjadi-jadi jika kau dimintai pertanggungjawaban oleh orang tuanya si mahasiswi yang mengalami kecelakaan sejarah tadi.
Sudah banyak kajian akademik soal kekacauan pengklasifikasian perkara pidana umum dan khusus. Kritik utama terhadap dikotomi delik yang diatur di KUHP dan di luar KUHP ialah simplifikasi tersebut mengabaikan substansi hukum materiil dan formilnya. Seharusnya, diklasifikasikan ke dalam pidana umum apabila hanya memenuhi kriteria-kriteria generik dan diklasifikasikan ke dalam pidana khusus jika sesuai dengan kriteria-kriteria spesifik. Masalahnya, kata orang yang ingin berpikir simpel-simpel saja: apa sih kriteria-kriteria generik dan spesifik itu?
Jangan minta jawaban ke Om Google lagi ah. Sesekali mintalah jawaban kepada sarjana hukum kita: Syahrini, S.H. Doi lulusan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor. Oya, skripsinya tentang kawin kontrak lho. Btw, punya modal apa untuk ngontrak doi? Kendaraan roda empat? “Sorry,” kata Syahrini, “incess bisa kejang-kejang kalau diajak naik Avanza.”
Sebab lain, mengapa klasifikasi pidana umum dan khusus berdasarkan sumber peraturan perundang-undangannya membikin pening ialah adanya plinplanisme. Kalau mau konsisten menggolongkan delik yang diatur di luar KUHP sebagai tindak pidana khusus, semestinya tindak pidana lalu lintas dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Kenapa? Karena ia diatur di luar KUHP, yaitu di UU 14/1992 yang telah diubah dengan UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tak mau dipojokkan begitu saja, penganut plinplanisme ini ternyata punya pembelaan. Begini pleidoinya: Dalam setahun, tindak pidana lalu lintas lebih dari 3 juta. Bayangkan kalau ia dijadikan perkara pidana khusus. Jutaan pelanggar lalu lintas yang baunya amit-amit itu akan sederajat dengan koruptor yang wangi-wangi. Toh sama-sama pelaku tindak pidana khusus. Janggal, kan? Lebih janggal lagi, para Polantas akan naik derajat jadi pasukan khusus, melebihi Densus 88. Jika kau mengendarai sepeda motor tanpa helm, kepalamu akan dipentung pakai gagang senapan serbu M4.
Berikutnya, kenapa pengklasifikasian pidana umum dan pidana khusus bikin pening orang luar pengadilan ialah sungguh tidak lazim, sesuatu yang khusus berjumlah lebih banyak daripada sesuatu yang umum. Perhatikanlah, contohnya sekolah umum vs sekolah khusus, jalan umum vs jalan khusus, dan Dana Alokasi Umum (DAU) vs Dana Alokasi Khusus (DAK).
DAU dan DAK itu di pemerintahan. Di rumah tangga saya, ada duit umum vs duit khusus. Semua duit adalah duit umum yang pengelolaan dan pembelanjaannya dilakukan oleh Menteri Keuangan di rumah, kecuali duit untuk beli rokok, kopi, bensin, tiket kereta, pulsa dan obat panu.
Selain pengalokasiannya, nominal duit khusus itupun sangat terbatas. Contohnya, dalam 1 X 24 jam, hanya boleh beli rokok sebungkus berisi 12 batang. Untunglah, dalam keadaan darurat, aturan itu sedikit diperlonggar. Jika 12 batang itu sudah ludes, padahal saya kebelet banget pengen ngudut, saya dipersilakan ngemut satu batang lagi. Ya, benar-benar satu batang doang, yaitu satu batang pohon pisang.
Sumber : http://www.hukumpedia.com/cak_haha/sarjana-hukum-kita-duit-umum-dan-duit-khusus