
Seperti yang diketahui, rencana pembangunan PLTU 2 Cirebon digugat dan dilayangkan oleh masyarakat yang terkena dampak langsung dari beroprasinya PLTU unit I di Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Didampingi Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim Warga terdampak resah dengan rencana pembangunan PLTU unit II dikarenakan dengan adanya PLTU I saja telah membuat kehidupan ekonomi warga yang mengandalkan hasil laut menurun drastis, tidak hanya itu dampak pada lahan pertanian pun berpengaruh, debu batubara yang dihasilkan oleh PLTU 1 bertaburan di area pertanian sehingga mengakibatkan gagal panen, tidak pernah ada konpensasi atau ganti rugi akibat hal tersebut. Direktur PT.CEP Heru Dewanto justru bertolak belakang dengan apa yang dirasakan warga terdampak, di tengah-tengah Workshop Emissions Norm for Coal Based Power, Heru menuturkan PLTU yang dibangun di Cirebon berteknologi canggih yang dapat mengurangi emisi sehingga sangat ramah lingkungan dan dapat mengusung “go green” di PLTU II yang menghasilkan daya 1000 megawatt itu.
Pada tanggal 19 April 2017, Pengadilan Tata Usaha Bandung membatalkan legalitas Izin Lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Berbahan Bakar Batubara (PLTU-B) Cirebon 1 x 1.000 MW (Surat Keputusan Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat Nomor 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016, tertanggal 11 Mei 2016, selanjutnya disebut “Izin Lingkungan PT CEP”). Melalui putusan PTUN Bandung no. 124/G/LH/2016. Pengadilan memerintahkan penerbit izin dalam hal ini Kepala Badan Penanaman Modal Dan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat (BPMPT Jabar), untuk mencabut izin tersebut.
Hakim menilai izin tersebut mengandung “cacat hukum” karena adanya pelanggaran tata ruang. Alasan utama hakim dalam menyatakan izin tersebut cacat secara hukum adalah fakta bahwa sebagian dari lokasi yang izinnya diberikan tidak ditujukan untuk pembangunan PLTU-B. Perda Kab. Cirebon tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon hanya menetapkan Kecamatan Astanajapura untuk pengembangan PLTU-B, sedangkan Kecamatan Mundu ditunjuk untuk keperluan lain.
Setelah putusan PTUN Bandung tersebut dijatuhkan, BPMPT Jabar yang selanjutnya saat ini telah berganti nama menjadi “DPMPTSP Jabar”, sebagai Tergugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PTTUN Jakarta) pada tanggal 21 April 2017. Namun, ketika proses hukum ini masih berlangsung, PT Cirebon Energi Prasarana mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan, hal tersebut ditemukan dan dipublikasi di website Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat (DLH Jabar) tertanggal 2 Juni 2017.
tidak diketahui secara pasti tanggal berapa pengajuan permohonan perubahan izin lingkungan tersebut. Menanggapi permohonan perubahan izin lingkungan tersebut, WALHI JABAR mengirimkan surat saran, pendapat, dan tanggapan (SPT) kepada DLH Jabar pada tanggal 12 Juni 2017, meminta DLH Jabar untuk menolak penilaian terhadap permohonan perubahan izin lingkungan tersebut karena gugatan administrasi terhadap Izin Lingkungan PT CEP masih berlangsung, dan belum ada perubahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon.
Pada tanggal 16 Juni dan 6 Juli 2017, agenda penilaian Amdal dilakukan, sejumlah warga terdampak atau penggugat tidak diundang dalam pertemuan tersebut untuk menyampaikan pendapat dan keluhan yang dirasakan selama ini, DPMPTSP Jawa Barat justru menerbitkan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup No: 660/07/19.1.05.0 /DMPPTSP/ 2017 pada tanggal 13 Juli 2017. Pada tanggal 17 Juli 2017, Izin Lingkungan yang baru juga dikeluarkan oleh Kepala DPMPTSP No. 660/08/19.1.05.0/DPMPTSP/2017. Selain mengubah izin, surat keputusan ini juga mencabut izin lama (Izin Lingkungan PT CEP), mengacu pada putusan PTUN Bandung No. 124/G/LH/2016. Proses penerapan dan evaluasi dalam penerbitan Izin lingkungan yang baru tidak melibatkan keikutsertaan pengggugat serta masyarakat terdampak lainnya.
Setelah dikeluarkannya Izin Lingkungan yang baru, tergugat DPMPTSP Jabar kemudian mencabut permohonan banding pada tanggal 1 Agustus 2017. Pengadilan menjatuhkan putusan yang mengabulkan pencabutan permohonan banding tersebut pada tanggal 10 agustus 2017; putusan tersebut dibacakan di hadapan publik pada tanggal 16 Agustus 2017. Pengadilan baru memberitahukan putusan tersebut kepada Penggugat pada tanggal 23 Agustus 2017.
Perubahan Izin Lingkungan Hidup PT. CEP dibuat berdasarkan Izin Lingkungan asli (Keputusan Kepala DPMPTSP Provinsi Jawa Barat nomor 660/10/19.1.02/0/BPMPT/2016) yang telah dinyatakan batal oleh PTUN Bandung, dan kemudian dicabut oleh DPMPTSP Provinsi Jawa Barat. Perubahan Izin Lingkungan memerlukan adanya Izin Lingkungan yang berlaku dan sah sebagai dasar dilakukannya perubahan.
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP tentang Izin Lingkungan) mengatur bahwa “Perubahan Izin Lingkungan” dapat dilakukan dengan alasan yang terbatas. Terminologi “Perubahan Izin lingkungan” pada Pasal 50 ayat (1) PP tentang Izin Lingkungan menyatakan dengan jelas bahwa Perubahan Izin Lingkungan hanya dapat terjadi apabila ada Izin Lingkungan yang berlaku yang mendasari perubahan tersebut. Ketentuan tersebut terlihat jelas dalam bagian Pasal 50 Ayat (1), yaitu: “apabila Usaha dan/atau Kegiatan yang telah memperoleh Izin Lingkungan”. Wujud Izin harus bersifat material dan yuridis, yang berarti tidak saja izin harus berwujud konkrit yang tertulis di atas kertas, namun izin juga harus sah dan memenuhi unsur-unsur izin lingkungan.
DPMPTSP Provinsi Jawa Barat mengacu pada perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW Nasional) sebagai alasan Perubahan Izin Lingkungan PT.CEP. Kekeliruan ini justru berpotensi menyebabkan cacat hukum terhadap Izin lingkungan yang diubah karena Pasal 114A Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP Perubahan RTRW Nasional) hanya berlaku untuk Izin Pemanfaatan Ruang, bukan untuk Izin Lingkungan.
Peraturan Pemerintah no 13 tahun 2017 tentang Perubahan RTRW Nasional, Pasal 114A tidak dapat diterapkan dalam kasus penerbitan Izin Lingkungan, jelas bahwa tidak ada perubahan hukum yang terjadi yang dapat menjadi dasar bahwa Izin Lingkungan PT. CEP dapat dianggap sesuai dengan RTRW. PP tentang Izin Lingkungan dengan jelas menyatakan bahwa “Lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib sesuai dengan rencana tata ruang.” dan “Dalam hal lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dokumen AMDAL tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada Pemrakarsa.”
Perubahan Izin Lingkungan PT. CEP tidak memenuhi semua persyaratan prosedural dan substantif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lebih spesifik lagi, masalah hukum yang mungkin terjadi meliputi: pelanggaran prosedural dalam Perubahan Izin Lingkungan karena tidak adanya Izin Lingkungan yang sah sebagai dasar dilakukannya perubahan Izin Lingkungan, Pasal 114A Peraturan Pemerintah no 13 tahun 2017 tentang Perubahan RTRW Nasional tidak dapat diterapkan dalam pengambilan keputusan penerbitan Izin Lingkungan, dan masih adanya pelanggaran terhadap RTRW baik di dalam prosedur maupun substansi Perubahan Izin Lingkungan PT. CEP.