Pengungsi Sampang: Jalan Rohingya atau Jalan Konstitusi

June 5, 2015Admin

pengungsi Sampang, berdemo

Oleh Hertasning Ichlas*

Hampir 4 tahun muslim Syiah Sampang menjadi pengungsi. Pengungsi mungkin istilah yang terlalu sopan. Mereka sebenarnya terusir dari kampungnya: kehilangan tanah, rumah, barang-barang, pekerjaan selain keyakinan yang tertindas. Mereka kehilangan hampir semua hak-hak dasar manusia untuk hidup.

Selama hidup di pengungsian mereka tak punya pekerjaan, tak punya uang untuk membiayai sekolah anak-anak mereka atau kebutuhan gizi keluarganya. 300-an warga dipojokkan menjadi pengungsi dengan pelucutan hak-hak hidup yang harus diterima sebagai kewajaran bahkan dipertontonkan sekian tahun lamanya.

Dahulu kita percaya faktor masalahnya adalah soal salah paham ajaran di level akar rumput. Rakyat berhadapan dengan rakyat. Setelah setahun lebih menelusuri kasus itu, pemahaman saya berubah. Apalagi setelah peristiwa islah terjadi antara warga kampung serta pelaku penyerangan dengan pengungsi Syiah Sampang yang terjadi di pengungsian rusun Jemundo Juli 2013. Hubungan rakyat dengan rakyat sesungguhnya lebih berperikemanusiaan dan rasional.

Warga kampung berkali-kali menyambangi pengungsi di rusun saling maaf memaafkan. Mereka ingin kehidupan rukun yang lama kembali seperti dulu dan mengakhiri salah paham dan fitnah. Kalau ada pengungsi yang pulang ke kampung untuk melayat keluarganya yang mati, sakit atau kena musibah, warga kampung menyambut pengungsi dengan haru.

Tak jarang pengungsi yang pulang dan warga saling menangis dan memeluk rapat. Sampai akhirnya tanpa melihat perubahan yang terjadi, seperti menjadi prosedur tetap, polisi selalu menciduk pengungsi pulang ke pengungsian dengan alasan yang kini terasa semakin dibuat-buat: tidak aman!

Kini kita tahu faktor masalahnya terletak pada pemerintah yang tak kunjung mau mengambil solusi adil. Setelah berjanji terus-menerus dan begitu lama bahwa pemerintah sedang mencari solusi, nampaknya kita tahu, membuat pengungsi hidup dengan nasib tak menentu di pengungsian sebenarnya adalah solusi itu sendiri buat pemerintah.

Saya percaya Tuhan yang maha-adil tak akan membiarkan ketidakadilan dan penindasan yang tak berujung. Termasuk mempercayai keadilan Tuhan untuk menghukum mereka-mereka yang membiarkan ketidakadilan jadi tontonan padahal mereka punya kemampuan dan jabatan untuk menyelesaikannya.

Satu detik penderitaan manusia karena ketidakadilan yang terus dibiarkan bahkan cenderung disengaja, akan dan telah menciptakan “neraka-neraka” di hidup dan kepala setiap mereka yang terlibat bahkan sejak di dunia ini.

Tapi sebagai pelajaran di dunia ini, warisan moral kepada anak cucu kita, dan upaya terus-menerus membangun kewarasan hidup yang berperikemanusiaan dan beradab, penindasan seperti kasus Muslim Syiah Sampang dan kasus lainnya tak boleh dibiarkan atau terus didiamkan.

Masyarakat yang sehat dan berperikemanusiaan akan selalu merasa masalah manusia dalam ketidakadilan dan penindasan adalah masalah dan urusan mereka semua untuk apa pun alasannya dan agamanya.

Masyarakat kita harus terus digerakkan dan dinyalakan untuk membangun solidaritas hidup memperjuangkan hidup yang adil dan berperikemanusiaan. Apalagi ketika negara dan pemerintah sedang kehilangan selera keadilan, susut dalam keadaban dan bangkrut secara moral.

4 tahun akan berlalu begitu saja menjadi 5 tahun, satu dasawarsa atau lebih jika hal ini terus didiamkan dengan mengorbankan pengungsi yang putus asa dan anak-anak mereka yang kehilangan hidup yang layak.

Selama penantian itu pula semua jalan beradab, pintu-pintu kultural dan formal sudah ditempuh pengungsi untuk mencari dan memastikan hadirnya sebentuk solusi beradab. Saya yang turut terlibat mendampingi pengungsi tahu bahwa mereka tidak pernah diam dan jelas bukan orang yang bebal untuk mencari titik temu bahkan termasuk menginstropeksi diri secara sosial dan kultural. Iman dan pandangan kemanusiaan mereka yang membuat mereka tetap bertahan dalam pengungsian betapapun upaya pemaksaan akidah terus dilakukan.

IMG_6181

Waktu menanti itu kini layak dipertanyakan. Sudah waktunya pengungsi dan semua warga bangsa yang merasa masalah ketidakadilan adalah urusan mereka bersama kini menagih komitmen kenegarawanan Presiden Joko Widodo dan apa yang disebutnya sebagai Islam rahmatan lil alamin.

Presiden sangat mampu membangun kerukunan kembali, mengintegrasikan pengungsi dengan kampung halaman dan warganyanya. Konflik tak boleh berakhir dengan pengusiran dengan bungkus relokasi. Cara-cara itu akan cenderung menindas yang lemah dan pasti tak adil. Konflik harus diselesaikan dengan prinsip-prinsip rekonsiliasi yang berujung pada kerukunan hidup kembali.

Modal sosial untuk itu sudah ada di akar rumput. Pemerintah harus lebih mendengar yang ingin berdamai daripada segelintir elit yang selama ini mengahalangi perdamaian di Sampang.

Dua desa tempat tinggal pengungsi punya modal islah dan hati yang lebih manusiawi dari elitnya. Yang belum mereka punya adalah kenegarawanan seorang presiden yang bijak dan adil. Hampir 4 tahun ini pengungsi telah kehilangan martabat sebagai manusia dan hak-hak sipilnya sebagai warga negara.

Jika pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo hanya bermaksud berpangku tangan memperpanjang penderitaan pengungsi dengan ketidakpastian, maka tolong jujur lepaskan nasib pengungsi Sampang dengan memberi mereka suaka politik ke negara yang bisa menerima mereka dengan baik. Saya kira sudah waktunya ada pengakuan jujur dari negara Indonesia bahwa mereka tak mampu melindungi segenap tumpah darahnya.

Pemerintah kini harus menjawab masalah pengungsi Sampang. Apakah jalan Rohingya yang sebenarnya pemerintah harapkan ketika konflik sosial terjadi atau jalan konstitusi dan kemanusiaan. Saya kira kita semua tahu jalan mana yang terhormat dan bermartabat.

*Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Prev Post Next Post