
Mengkaji Perppu No 2 Tahun 2017
Tentang Perubahan UU Ormas No 17 Tahun 2013
(Pendekatan Socio-Legal: Meletakkan hukum dalam realitas sosial: politik, ekonomi, ideologi/budaya, dll)
CURRENT STATE OF PLAY
Pemerintah menjelang tahun ketiga umur kekuasaan Presiden Jokowi, pada 10 Juli 2017 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No 2 Tahun 2017 yang mengubah 2 bab dari 18 bab UU tentang Ormas No. 17 Tahun 2013.
Kemudian kepada publik Pemerintah melalui MenkoPolhukam berargumen bahwa keluarnya Perppu karena ada kanker di dalam tubuh negara dan telah memantau dan mengawasi cukup lama perangai dari Ormas-ormas yang tidak Pancasilais dan ingin mengubah sistem negara namun kesulitan mengambil sikap dan menindak berdasarkan UU Ormas No. 17 Tahun 2013. Dikeluarkannya Perppu No. 2 Tahun 2017 memaksudkan agar pemerintah bisa segera menindak tegas berdasarkan keadaan luar biasa atau kegentingan yang memaksa.
BENTUK HUKUM PERPPU
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sudah ada dan diatur sejak UUD 1945 disahkan. Diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Pasal ini menurut studi para sarjana tata negara dikenal sebagai salah satu pasal sakti (bercorak presidential heavy) yang tidak pernah disinggung apatah lagi dikenai perubahan baik melalui 4 kali amandemen konstitusi ataupun melalui ketetapan MRP di era sebelum reformasi.
Studi menyebutkan sudah ada sekurangnya 200 Perppu dikeluarkan oleh presiden sejak Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. 143 dikeluarkan Presiden Soekarno dan sisanya oleh rezim Orba dan Reformasi. Presiden Jokowi sendiri sudah 3 kali mengeluarkan Perppu dalam masa (hampir) 3 tahun kekuasaannya. 1) terkait Pedofilia, 2) terkait Akses Keterbukaan Informasi Perpajakan dan 3) Tentang Perubahan UU Ormas No 17 Tahun 2013
PENERAPAN PERPPU
Pada dasarnya di dalam studi politik hukum terdapat sedikitnya 3 kategori negara hukum: 1) otoriter, 2) demokratis 3) kombinasi antara keduanya (melihat pendulum mana yang lebih kuat).
Perppu penggunaannya diatur di dalam konstitusi berdasarkan “subjective right” presiden. Presiden yang menafsirkan apa yang dimaksud dengan “keadaan luar biasa” atau “kegentingan yang memaksa” sehingga diperlukan lahirnya Perppu.
Perppu yang sering dikeluarkan dan tidak memperhatikan prinsip-prinsip bernegara, HAM, demokrasi dan filosofi konstitusi dapat mengancam kehidupan demokrasi dan kebebasan hak sipil dan politik.
Karena itu melalui suatu pengujian atau judicial review di tahun 2009, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 138 Tahun 2009 melakukan pembatasan dan penafsiran tentang apa yang dimaksud kondisi luar biasa dan kegentingan memaksa. Pembatasan itu dianggap oleh para sarjana tata negara sebagai tafsir yang menguatkan atau memudahkan kekuasaan presidensial.
Di dalam tafsir Mahkamah Konstitusi, Perppu dapat dikeluarkan dan diaturb erdasarkan hak subjektif presiden tentang kondisi dalam keadaan genting dan memaksa (clear and present danger). Perppu selanjutnya bisa dikeluarkan jika tidak ada UU yang mengatur atau ada namun tidak memadai sehingga menuntut presiden menempuh jalur luar biasa dan bukan proses biasa.
Pendukung Perppu Ormas vs Pengkritik Perppu Ormas
Tujuan dari Perpu No. 2 tahun 2017 disebut para pendukungnya Pertama, melindungi rumah kita bersama bernama Indonesia dari radikalisme yang ingin mengganti dasar negara. Kedua, konteks lahirnya Perpu untuk merespon kegentingan nasional dimana ajaran radikalisme telah merasuk ke dalam ruang privat keluarga dan segala aspek kehidupan masyarakat. Ketiga, target munculnya Perpu ini adalah pada organisasi kemasyarakatan yang anti Pancasila. Keempat, meski banyak kekurangan, Perpu menjadi langkah awal pemerintah untuk menyikapi secara tegas radikalisme yang memicu pengerasan politik identitas di Indonesia, yang berpotensi memecah belah bangunan persaudaraan rakyat Indonesia. Kelima, gencarnya berita fitnah untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. Meskipun telah disahkannya UU No. 11 tahun 2008 tentang Infomasi serta transaksi elektronik (ITE), dan Surat Edaran Penanganan Ujaran Kebencian Nomor: SE/06/X/2015, tampaknya belum menunjukkan penegakan hukum yang maksimal. Fitnah bertebaran di media sosial dan masuk dalam ruang privasi kita semua. Keenam, ruang publik yang tidak aman. Maraknya kebencian yang diekspresikan dalam bentuk perang dunia maya sampai pada persekusi nyata kepada beberapa orang yang dianggap menyerang kredibelitas kelompok tertentu, begitu mengancam ruang publik kita. Ketujuh, Perpu akan membantu mengembalikan kemanusiaan rakyat Indonesia dengan kembali kepada esensi menjadi Indonesia. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat kembali empat pondasi penting bernegara kita dengan memahami esensi dari NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945. Esensi mengapa kita perlu mempertahnakan rumah bersama yaitu Indonesia.
Beberapa argumen pendukung dan pengkritik yang krusial dapat dikaji seperti di bawah ini:
Argumen Pendukung I
Para pendukung Perppu terutama melalui para penggagasnya beragumen bahwa UU No 17 Tahun 2013 sangat berorientasi kepada kebebasan Ormas sehingga lebih mirip UU Republik Ormas daripada UU Republik Indonesia.
Pemerintah berargumen selama ini tidak bisa mengggunakan kekuasaannya untuk menindak dan tidak bisa “hadir” untuk menjamin dan melindungi ideologi dan norma/haluan dasar bernegara melalui UU No 17 Tahun 2013.
Ada kepercayaan diri di dalam pemerintah dan presiden bahwa kebebasan yang telah diberikan telah disalahgunakan dan dioperasikan secara sewenang-wenang sehingga Perppu ini perlu dikeluarkan dengan mengutamakan asas di dalam hukum administrasi negara yang disebut Contrarius Actus: sesiapa yang mengeluarkan izin, dia pula yang berhak untuk mencabutnya. Maka seperti termuat di dalam Perppu bahwa ada perluasan definisi dari paham: “paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”.
Argumen Pengkritik I
Pemerintah dianggap lancang dan tidak memahami filosofi bernegara. Kebebasan bukanlah pemberian melainkan namun hak yang seharusnya berlaku universal berdasarkan natural right. Bahkan kebebasan dasar tidak bisa diatur di dalam konstitusi kecuali bermaksud melindunginya. Pemerintah dan negara seharusnya hanya bertugas melindungi kebebasan bukan merasa memberikan apalagi merasa berhak mengambil ulang kebebasan.
Asas Contrarius Actus salah kaprah diterapkan kepada Ormas. Basis izin dalam asas itu prinsipnya adalah membolehkan sesuatu yang dilarang oleh pemerintah. Misalnya dilarang berkendara di jalan raya kecuali mereka yang memiliki izin mengemudi. Dilarang memiliki tanah kecuali warga negara Indonesia.
Namun apakah hak berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalm Pasal 28 UUD adalah izin? Apakah membentuk yayasan, PT dan Ormas itu izin? Menurut pengkritik hal ini bukanlah izin melainkan hak yang harus dilindungi negara.
Argumen Pendukung II
Penerapan Pidana. Pendukung dan penggagas Perppu Ormas meyakini bahwa sistem Civil Law/Continental Law yang berlaku di Indonesia menganut sistem Low Level of Differentiation yakni sanksi administratif dan sanksi pidana bisa ditempatkan dan diatur di dalam satu UU. Sementara sistem Common Law menganut High level of Differentiation. Tidak mungkin sanksi administratif tidak ada kelanjutan ketentuan pidananya. Pidana bisa dilakukan kepada penganut atau anggota Ormas meskipun dalam proses pidana tentu saja jaksa akan mencari aktor intelektualis dari Ormas tersebut. Contoh pada kasus Sambas.
Subjek hukum. Di dalam Perppu Ormas diatur bahwa subjek hukum adalah Ormas termasuk seluruh anggota dan penganutnya. Mengapa? Karena menurut pendukung jika menggunakan subjek hukum sesuai KUHP, maka subjek hukum hanya orang/individual belaka.
Mekanisme tahapan dan waktu pembubaran yang terlalu lama. Pemerintah menganggap UU Ormas No. 17 Tahun 2013 terlalu lama dalama tahapan dan waktu. Dibutuhkan waktu sekitar 450 hari untuk mempersoalkan pembubaran ormas: 54 hari untuk peringatan hingga mendapat keputusan MA, pencabutan status Ormas 14 hari sampai mendapat keputusan MA hingga pembubaran Ormas membutuhkan sekitar 400 hari. Proses ini dianggap melumpuhkan pemerintah sehingga pemerintah memangkasnya menjadi 7 hari peringatan, jika tidak direspons langsung penghentian kegiatan dan pembubaran tanpa perlu proses pengadilan. Pendukung berdalih jika tidak setuju silakan saja mempersoalkan ke PTUN.
Argumen Pengkiritik II
Penerapan sanksi pidana yang sangat eksesif karena dapat terkena bukan hanya kepada pimpinan namun kepada penganutnya. Seharusnya pemidanaan dilakukan sebagai ultimum remedium.
Pembubaran yang tidak mengikut prinsip-prinsip rule of law dan demokrasi karena mengabaikan proses peradilan dan due process of law.
Salah kaprah bahwa seolah-olah Perppu ini bertujuan menyasar pembubaran Ormas radikal/ekstrem padahal ada begitu banyak pasal lain yang mengatur pembubaran dan pemidanaan selain soal Ormas ekstrem. Munculnya Pasal Penodaan Agama yang secara demokratis seharusnya sudah tidak perlu diatur, ketertiban umum, pengumpulan dana partai, dll.
Argumen Pendukung III
Adanya kegentingan yang memaksa sehingga pemerintah perlu segera mengambil tindakan. Itulah pentingnya mengeluarkan Perppu.
Argumen Pengkritik III
Tidak adanya kegentingan yang memaksa karena tidak ada pembubaran yang dilakukan semenjak Perppu dikeluarkan pada 10 Juli 2017. Bahkan Pemerintah terlambat menyerahkan Perppu ke DPR sehingga sampai 12 Juli DPR belum menerima pengajuan dari pemerintah. Menolak Perppu dalam memilih proses legislasi biasa yang menjunjung unsur representasi, proses pengadilan dan prinsip audio et alteram partem.
Argumen Pendukung IV
Pemerintah berhak membubarkan Ormas tanpa menunggu proses peradilan demi menjaga dan melindungi Pancasila sebagai ideologi negara
Argumen Pengkritik IV
Mempersoalkan sangat tegas hilangnya hak membela diri Ormas di muka pengadilan dari pembubaran. Dalam UU 17/2013 tentang Ormas, ada 18 pasal yang mengatur secara rigid tahap-tahap membubarkan sebuah organisasi. Dari mulai peringatan tertulis pertama sampai ketiga, penghentian bantuan, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan status badan hukum. Dan semua itu harus melalui pertimbangan Mahkamah Agung atau proses peradilan.
Dalam Perppu Ormas, semua ini nyaris diterabas. Tujuh hari setelah peringatan tertulis, pemerintah bisa langsung menghentikan kegiatan tanpa meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Jika tak diindahkan, lalu mencabut status badan hukum (pasal 62) yang juga tanpa melalui pengadilan.
Konteks dan Kontestasi Politik
Beberapa hal penting yang perlu menjadi pertimbangan dari kajian tentang Perppu justru melihat aspek kontestasi sosial dan antropologi politik dari pemberlakukan Perppu. Pendekatan ini akan membuat horison kita meluas dari hanya perdebatan soal norma dan legalitas.
Perppu tentang Ormas keluar di dalam situasi politik yang kental dengan rivalitas dan permusuhan. Di mana agama, Pancasila dan NKRI cenderung dipakai untuk membungkus dan menyembunyikan kepentingan politik, rivalitas politik bahkan lebih jauh kepentingan pasar dan operasi kapital.
Karena pada dasarnya ada upaya memanipulasi hal-hal suci maka publik dan warga negara perlu lebih saksama dan berhati-hati melihat bagaimana kekuasaan yang saling berkompetisi ini menggunakan ruang publik untuk mempromosikan jargon-jargon suci seperti agama, Pancasila, dan NKRI.
Argumen pemerintah bahwa selama ini telah lama mengawasi dan memantau ormas-ormas radikal yang anti-pancasila atau ingin mengubah haluan negara menandakan bahwa pemerintah ingin berbuat sesuatu sekarang juga.
Pertanyaan kritis yang bisa diajukan apakah pemerintah kekurangan dalil dan kapasitas untuk berbuat dan bertindak sebelumnya tanpa Perppu? Dan apakah ada cukup bukti dan sebab-sebab material bahwa pemerintah telah melakukan banyak hal dalam bertindak dan melakukan upaya sejauh mungkin sehingga muncul kebutuhan untuk menerbitkan Perppu?
Kita dalam hal bisa melakukan pengujian empiris dan faktual yang sangat mudah tentang sepak terjang dan kualitas pemerintah dalam menjaga kehidupan bernegara yang Pancasilais yang menghormati keragaman dan toleransi.
Pandangan kritis lain yang bisa kita ajukan adalah, munculnya ormas yang menawarkan pandangan yang melawan bahkan menantang Pancasila dan serta sistem bernegara tidak sepenuhnya menjadi kesalahan ormas tersebut karena pemerintah di dalam norma tentang UU Ormas memiliki kewajiban mengawasi dan membina.
Sikap kritis dan bertentangan dengan pemerintah atau ketertiban umum tidak otomatis menolak atau anti-pancasila. Di sinilah mengapa perlu ada juri yang lebih adil yakni mekanisme pengadilan. Mereka yang mengkritik mengapa hidup makin senjang, tanah-tanah warga yang dirampas, atau air, hutan dan lingkungan mereka sekonyong-konyonh dimiliki perusahaan, dijadikan pabrik atau perkebunan korporasi atau kritik kepada pemerintah yang mempersoalkan hutang negara yang besar melalui suatu ormas, tidak bisa dianggap sebagai anti-pacasila, atau jika dianggap mengkritik hal tersebut dianggap tetap mengkritik Pancasila maka Pancasila memang perlu dikritik.
Momentum Perppu No 2 Tahun 2017 ini lahir dalam rivalitas dan kontestasi politik yang sengit menuju Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019. Publik perlu mengawasi agar Pemerintah tidak menggunakan Perppu ini untuk “menjinakkan” mereka yang selama ini cenderung berseberangan dengan pemerintah atau mengorbankan ormas yang terlalu lemah dan tak punya kemampuan politik dan elektoral untuk membela diri. Kita tentu ingin hukum dan UU yang bekerja untuk kepentingan konstitusi dan publik bukan pada umummnya menjadikan hukum sebagai instrumen penggalangan dan konsolidasi politik.
Pada dasarnya kita membutuhkan Indonesia yang kuat namun kuat dalam menjaga kepentingan-kepentingan publik dan kepentingan nasionalnya dan bukan kuat dalam melakukan penggalangan politik apalagi penindasan politik berbaju Pancasila, NKRI atau agama. Presiden Jokowi perlu kita dukung dan cara terbaiknya adalah memberikan masukan-masukan kritis agar kekuasaan terus diingatkan, dikritik dan dirasionalisasi dan dibatasi melalui proses politik.
Kesimpulan:
Menghormati semangat Presiden dan pemerintah untuk menindak tegas mereka yang anti-Pancasila, dalam hal ini mereka yang ingin eksis sendirian dengan cara menguasai dan memonopoli hajat hidup warga, memprosekusi keragaman, bertindak intoleran, menindas dan melakukan kekerasan atas nama mayoritas, pemerintah daerah atau kekuasaan lainnya melalui Perppu. Namun dari pertimbangan legal drafting, konstitusi, HAM, partisipasi dan demokrasi, sebaiknya proses Perppu ini ditolak DPR dan diusulkan melalui proses legislasi biasa yang mempertimbangkan prinsip “audio et alteram partem”. (YLBH-Universalia)