Hari Bumi dalam Kesadaran Antroposene

April 27, 2017Admin

Peringatan Dini yang Diabaikan
Tanggal 19 Agustus 2016, 13 Agustus 2015, dan 8 Agustus 2016 dinyatakan sebagai Earth Overshoot Day 3 tahun terakhir. Pada hari-hari itu, umat manusia melampaui jatah sumberdaya alam yang seharusnya boleh dipergunakan selama setahun. Tanggal-tanggal itu menandai bahwa kita mulai mengambil jatah generasi mendatang.

Yang paling memprihatinkan—untuk tidak menyebutnya mengerikan—sejak 1970-an ketika overshoot day mulai diukur, kita semakin awal saja dalam melampaui jatah. Jejak kaki ekologis manusia kontemporer membesar, dan setiap tahun kita mencuri semakin banyak dari generasi mendatang.

Wujud paling nyata dari hasil pencurian itu mungkin adalah perubahan iklim. Lebih dari seabad lampau, Svante August Arrhenius hampir tidak diluluskan dalam ujian disertasi di Universitas Uppsala ketika meramalkan bahwa manusia, lewat industrialisasi, akan mencemari atmosfer sedemikian rupa hingga mengubah komposisinya dan membuat iklim berubah. Disertasi yang hampir gagal itu kemudian membuahkan hadiah Nobel buat Arrhenius, sekaligus menjadi ramalan pertama atas masa depan yang muram bagi seluruh umat manusia.

 

Mungkin kumpulan umat manusia kala itu bukan tandingan yang memadai di hadapan kecerdasan Arrhenius. Buktinya, butuh lebih dari separuh abad untuk memastikan bahwa Arrhenius benar. Kemajuan yang disediakan oleh industri seakan membuat seluruh dunia tertidur di hadapan peringatan yang ia berikan.

Manusia tidur nyenyak dalam mimpi hingga data yang dimiliki Charles Keeling menunjukkan perubahan cepat dalam komposisi karbondioksida di atmosfer. Lalu, butuh beberapa dekade juga bagi kita untuk sadar betapa berhimpitnya data tersebut dengan data kenaikan suhu rerata Bumi.

Kini, kita tahu persis penyebabnya. Manusia yang memakan batubara, meminum minyak, dan menghirup gas untuk mendapatkan energi—sambil terus menurunkan kemampuan Bumi dalam menyimpan karbon—telah membuat Bumi dan segala penghuninya berhadapan dengan kondisi seperti sekarang.

Bahkan apabila kita mengubah cara kita mendapatkan energi sekarang juga, kecenderungan pemanasan global masih akan terus terjadi, karena gas-gas rumah kaca yang kita hasilkan tetap akan ada di atmosfer dalam jangka waktu tertentu. Dan tampaknya kita belum akan berhenti memanfaatan energi fosil hingga entah berapa dekade lagi.

Bisakah Kita Menyelamatkan Diri?
Apakah kita punya pengetahuan dan teknologi untuk menyelamatkan diri dari kondisi ini? Setelah menimbang seluruh yang dimiliki oleh umat manusia, dua profesor dari Universitas Princeton, Robert Socolow dan Stephen Pacala, menjawab dengan tegas: kita punya! Makalah mereka di jurnal terkemuka, Science, yang terbit pada 13 Agustus 2004 sontak menimbulkan kesadaran bahwa kita bisa mengubah trajektori masa depan. Bukan cuma itu, kita juga memiliki sumberdaya ekonomi yang melimpah untuk melakukannya.

Lebih jauh lagi, belakangan kita tahu bahwa ekonomi bahkan bakal membaik kalau kita melakukan beragam tindakan yang masuk ke dalam apa yang mereka sebut sebagai stabilization wedges itu.

Tetapi, melihat kenyataan bahwa hingga sekarang, 13 tahun setelah makalah Socolow dan Pacala, kita masih juga berada dalam trajektori yang tak menyenangkan—emisi gas rumah kaca dilaporkan sudah stabil, namun kita juga melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa membalik kondisi itu—wajar bila pertanyaan berikut ini banyak diajukan. Mengapa peringatan dini, serta pengetahuan dan teknologi yang sudah dimiliki belum berhasil menyelamatkan umat manusia dari masa depan yang katastrofik?

Jawaban pertamanya adalah kelembaman politik. Masa pemerintahan yang antara empat hingga lima tahun saja banyak dituding sebagai biang keladi tidak seriusnya negara-negara dalam memecahkan masalah ini.

Perubahan iklim sudah menjadi perhatian di tingkat global lebih dari dua dekade. Setiap tahun perundingan dilakukan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Ini karena pemerintah hidup dalam siklus yang pendek—dengan menghitung euforia kemenangan dan persiapan untuk berkuasa kembali, maka siklusnya lebih pendek lagi—dan siklus yang pendek sangat menyulitkan mereka untuk berkomitmen pada apa pun yang membutuhkan pemikiran, kebijakan, dan komitmen sumberdaya dalam jangka panjang.

Dahulu, mantan Presiden Amerika Serikat George Bush Sr. pernah menyatakan bahwa greenhouse effect akan sangat ditentukan nasibnya oleh White House effect. Kala itu artinya positif, walau dia terbukti juga melakukan sangat sedikit hal ketika kesempatan terbuka lebar.

Namun, dengan Donald Trump di tampuk kekuasaan AS sekarang, artinya berbeda secara diametrikal. Presiden Trump menyatakan bahwa perubahan iklim hanyalah hoax buatan Tiongkok untuk membuat ekonomi AS tidak kompetitif. Tindakan-tindakannya yang ditunjukkan sekarang menunjukkan bahwa dia percaya betul—atau setidaknya konsisten tindakannya dengan pernyataannya sendiri—soal perubahan iklim sebagai hoax.

Trump jelas ancaman serius bagi penanganan perubahan iklim. Apalagi, dia menyatakan kehendaknya untuk mengeluarkan AS dari Kesepakatan Paris bahkan dari UNFCCC. Barangsiapa yang menganggap ini adalah ancama kosong belaka harus menyadari bahwa tindakan-tindakan Trump adalah perwujudan konsisten dari kata-katanya, setidak masuk akal apa pun itu.

Tapi Trump tidak sendirian. Kanada yang tampil gemilang di Kesepakatan Paris sebagai salah satu pengusung ide menjaga kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius—padahal kenaikan 2 derajat Celsius tadinya dianggap memadai—juga berkhianat. Tindakan Justin Trudeau yang membuka kembali dua proyek bahan bakar fosil tak lama setelah Kesepakatan Paris telah membuat banyak pihak berang. Kalau Trump dianggap gila, Trudeau adalah lambang kemunafikan.

Biang keladi berikutnya adalah perusahaan. Arus utama perusahaan jelas: mereka menuhankan keuntungan bagi pemilik modalnya. Mereka melakukan apa pun yang diperlukaan untuk mencapai hal tersebut. Banyak perusahaan yang menyatakan mematuhi hukum dan bahkan melampaui kepatuhannya dengan tanggung jawab sosial. Tetapi, kepatuhan dan tanggung jawab sosial kerap hanya pernyataan hampa di hadapan tekanan kepentingan maksimisasi profit.

Menentukan Nasib Sendiri
Untungnya, sifat kalkulatif dari perusahaan telah membawa mereka menjadi lebih baik. Ketika Trump membuat kebodohan luar biasa dengan membuka kembali peluang industri fosil menguat, sejumlah 900 perusahaan membuat surat yang menyatakan dukungan untuk pembangunan yang rendah karbon. Mengapa demikian? Karena mereka berhitung bahwa bahan bakar fosil memang sudah tak lagi andal.

Harga energi yang rendah telah membuat masalah stranded assets di industri tersebut. Akibatnya, pengembangan baru sangat suli terjadi. Sementara, energi terbarukan semakin lama semakin melimpah dengan harga yang semakin murah.

Di Inggris, untuk kali pertama sejak Revolusi Industri, telah terjadi hari tanpa batubara. Bauran energi yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan penyedia energi menunjukkan bahwa pada 21 April 2017 energi-energi lainnya sudah memadai untuk membuat energi batubara tak lagi diperlukan. Tentu, ini perkembangan sementara—pada saat musim dingin nanti kebutuhan energi akan melonjak—namun juga menunjukkan suatu perkembangan menarik.

Perusahaan-perusahaan di Tiongkok juga telah berhasil membuat energi terbarukan dari angin dan sinar matahari dalam jumlah besar—mengalahkan Jerman yang lebih dari satu dekade adalah juaranya—dari semata-mata perhitungan ekonomi.

Mungkin yang masih menyedihkan adalah soal hutan. Hutan di seluruh dunia masih menyusut, walau di banyak tempat juga banyak yang membaik kondisinya. Pemanfaatan area berhutan untuk kepentingan pertanian secara luas serta kepentingan lainnya telah membuat hutan mengalami deforestasi. Padahal, hutan menjalankan fungsi penyimpanan karbon yang sangat besar, di samping jasa ekologis lainnya. Kalau deforestasi terjadi, maka bukan saja karbon terlepas ke atmosfer, namun juga fungsi penyimpanan itu berkurang.

Tetapi, deforestasi sebagai masalah global kerap dipandang bukan sebagai masalah yang cukup penting di tempat-tempat di mana hutan masih ditemukan. Ambil contoh Indonesia dengan debat soal deforestasinya yang terus berkobar sejak Maret lalu, terutama terkait dengan komoditas pertanian kelapa sawit.

Ada pihak yang akal-akalan—menggunakan definisi deforestasi yang legalistik, memakai sampel kelewat kecil, dan hanya melibatkan kebun yang legal—untuk menyangkal fakta bahwa ekspansi sawit di Indonesia bertanggung jawab atas sebagian deforestasi. Bukan cuma itu, klaim yang diajukan adalah bahwa sawitlah yang menyelamatkan Indonesia dari deforestasi. Itu adalah klaim yang sangat “berani”, mengingat jurnal-jurnal ilmiah otoritatif menunjukkan kesimpulan yang berseberangan.

Buat banyak pihak yang bertungkus lumus dalam ilmu pengetahuan, tentu mudah untuk melihat perbedaan kualitas riset dan publikasi di antara yang menyatakan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit berkontribusi pada deforestasi dengan yang menyatakan sebaliknya. Namun, kaum awam tidaklah demikian. Bahkan, semangat “nasionalisme” sebagaimana yang ditunjukkan oleh mereka yang membuat klaim non-deforestasi itu lebih banyak menarik perhatian media massa, sehingga jauh lebih banyak dibaca.

Pengingkaran fakta—dengan nama kerena “post-truth”—kini memang marajalela di seluruh dunia. Dan ini membuat para ilmuwan yang bertungkus lumus dalam penyelamatan Bumi perlu mengubah strateginya. Mereka tak bisa lagi sekadar meneliti, mempublikasikan karyanya di jurnal ilmiah yang dibaca sangat sedikit orang, serta hadir dalam seminar dan lokakarya ilmiah dengan audiens terbatas.

Seperti ditunjukkan pada gerakan March for Science, para ilmuwan perlu menyuarakan kebenaran ilmiah dengan advokasi kepada masyarakat luas dan pemerintah. Kalau perlu, dengan turun ke jalan. Bumi dan segala isinya sedang terancam bencana katastrofik, dan cara-cara yang biasa tak bisa lagi diandalkan. Desperate times call for desperate measures.

Salah satu di antara desperate measures yang harus diambil adalah dalam keuangan dan investasi. Kalau selama ini keuangan dan investasi oleh pemerintah maupun swasta cenderung berada pada sisi yang bertentangan dengan keberlanjutan, maka dunia perlu bekerja keras untuk mengubahnya segera. Keuangan dan investasi harus dibuat bekerja untuk penyelamatan Bumi dan segala isinya. Ini juga sudah menjadi kesepakatan global, terutama di antara pimpinan negara-negara G20. Namun, gangguan seperti terpilihnya Trump memang menghambat perubahannya.

Para pemimpin itu—juga para pemimpin di berbagai level dan di semua sektor: pemerintahan, swasta, organisasi masyarakat sipil—perlu mengingat satu hal, yaitu bahwa kita sudah berada pada era Antroposene, di mana baik-buruknya Bumi, lestari-punahnya dunia, benar-benar ada di tangan manusia. Kita bisa memilih nasib Bumi yang buruk dan menuju kepunahan, tetapi bisa juga memilih nasib baik dan lestari. Benar-benar ada di tangan manusia.

Pertanyaannya kemudian adalah, mana nasib yang kita pilih? Apa pesan yang mau kita sampaikan kepada pemerintahan dan pasar? Apa tindakan yang akan kita ambil dalam kapasitas masing-masing?

Selamat Hari Bumi 2017! Semoga kita mengambil pilihan tepat dalam waktu yang cepat.

Tsing Hua University, Beijing, 22 April 2017

 

Sumber : http://geotimes.co.id/hari-bumi-dalam-kesadaran-antroposene/

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Prev Post Next Post