
“Buruk Muka Cermin Dibelah”
Catatan Siang oleh Timboel Siregar
BPJS Kesehatan berencana untuk melibatkan peserta untuk mendanai biaya perawatan (cost sharing) untuk penyakit yang butuh perawatan medis lama dan berbiaya tinggi (katastropik). Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, pembiayaan perawatan penyakit katastropik selama ini cukup menguras kantong BPJS Kesehatan.
Demikian berita ttg JKN yang muncul saat ini di beberapa media. Tentunya berita ini membuat keresahan bagi peserta JKN yang mengalami sakit katastropik seperti penderita cuci darah, jantung, dsb.
Atas berita tersebut, saya mencoba membuat catatan kecil. Merujuk UU No. 40 tahun 2004 ttg SJSN Pasal 22 ayat (1) diamanatkan “Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan.”
ayat (2) nya bilang “Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya.”
Dari dua ayat tersebut maka saya menilai bahwa BPJS kesehatan wajib melayani seluruh peserta JKN atas seluruh jenis pelayanan tsb di atas termasuk kuratif, dan urun biaya bisa dikenakan bila ada penyalahgunaan pelayanan.
Pertanyaannya, apakah peserta yang menderita penyakit katastropik menimbulkan penyalahgunaan pelayanan? Tentu tidak. Saya yakin peserta JKN penderita katastropik bukan penyalahgunaan pelayanan. Oleh karena itu kalau penderita katastropik harus urun biaya maka kebijakan tsb sudah melanggar Pasal 22 ayat (1) dan (2) tsb.
Pernyataan Dirut BPJS yang ingin melibatkan peserta utk cost sharing bagi penyakit katastropik adalah sebuah statement kebingungan mencari solusi atas masalah defisit pembiayaan JKN yang tiap tahun terjadi.
Sudah menjadi kebiasaan bagi pemerintah dan direksi BPJS Kesehatan selalu merespon defisit dgn memproduksi regulasi yg menyulitkan peserta JKN, seperti Per BPJS no. 84/2014 dan Per BPJS no. 1/2015 ttg masa aktivasi pendaftaran JKN. Ketika angka piutang iuran tinggi maka lahirlah Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No. 16 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penagihan dan Pembayaran Iuran JKN. Apa dgn lahirnya peraturan tsb piutang iuran menurun, tentu tidak. Piutang iuran tetap tinggi, per 30 Juni 2017 piutang iuran sebesar Rp. 3.9 Triliun. Tingginya piutang ini tentunya terkait dgn kinerja direksi BPJS Kesehatan.
Seharusnya pemerintah dan Direksi BPJS Kesehatan merespon defisit dengan mengevaluasi komitmen anggaran pemerintah dan mengevaluasi kinerja Direksi, bukan malah mengorbankan pasien JKN apalagi melanggar ketentuan UU SJSN.
Janganlah lagi membuat rakyat yang memiliki hak konstitusional atas jaminan kesehatan menjadi sulit memperoleh hak konstitusionalnya hanya karena kinerja Direksi yg belum optimal.
Jadi bila pernyataan Pak Dirut di atas benar benar direalisasikan maka pemerintah dan Direksi telah nyata nyata melanggar Pasal 22 ayat 1 dan 2 UU SJSN, dan pepatah yang pas dalam masalah ini adalah Buruk Muka Cermin Dibelah, kinerja rendah direksi rakyatlah yang disalahkan dan dipersulit.
Pinang Ranti, 25 Nopember 2017
Tabik
Timboel Siregar