Menengok Kerukunan Sunnah-Syiah di Jepara

May 20, 2015Admin

Oleh Hertasning Ichlas

sunnah-syiahDi Jepara, Sunnah-Syiah dan beragam agama hidup rukun dalam perbedaan.

Diiringi azan Subuh, di sebuah hotel sederhana namun bersih bernama Elim, kami, rombongan dari Jakarta tiba di Jepara. Saya, Farid Gaban, Ahmad Taufik dan teman-teman YLBHU segera turun dan meluruskan badan di lobi hotel usai perjalanan darat Jakarta-Semarang-Jepara.

Suasana subuh yang hening dan tiupan angin dari pohon-pohon Mahoni yang rindang di muka hotel, menggoda saya untuk membakar sebatang rokok. Lama sekali saya tak merasakan suasana seperti itu.

Farid Gaban yang setengah tertidur segera masuk kamar diikuti seorang kawan lain. Saya, Ahmad Taufik dan beberapa kawan melipir ke DATA karena dijemput Pak Nasir selaku tuan rumah acara.

Sekejap bayangan saya tentang DATA akan mirip dengan kantor data atau semacam data center. Sampai kemudian kami belok ke jalan agak sempit dan menanjak melewati rumah penduduk dan kemudian melihat papan di sebuah bangunan bertuliskan: “Pesantren Darut Taqrib”.

Ah, ini rupanya DATA!

“Ayo turun. Kami siapkan kopi dan teh juga sarapan. Kalau mau istirahat silakan masuk kamar,” kata Pak Nasir yang ramah.

Baru kemudian saya tahu dari Ustad Miqdad Turkan asal-usul Pesantren Darut Taqrib. Pesantren itu dibangun secara swadaya dengan dukungan masyarakat, meniru sebuah lembaga di Mesir yang menawarkan persatuan dan persaudaraan Islam.

Subuh itu, santri-santri berbaju putih bergerak menuju masjid di pesantren. Sebagian besar lainnya sudah berkumpul di masjid dan mengumandangkan ayat-ayat Alquran dengan khidmat. Saya duduk menyeruput kopi di teras rumah yang menghadap masjid.

Usai shalat subuh, para santri melantunkan selawatan dan puji-pujian kepada Nabi dan keluarganya. Saya mengambil tempat di bagian belakang masjid menikmati suasana pesantren yang rindang seraya mendengarkan lantunan syahdu para santri.

Pesantren Darut Taqrib dikelola Ustad Miqdad Turkan yang bermazhab Syiah. Namun masyarakat di sekitar menerima keberadaan pesantren itu dengan baik.

Masyarakat dan Pesantren Darut Taqrib sering membuat kegiatan sosial bersama. Mulai dari bersih-bersih lingkungan, khitanan, pengajian hingga bedah rumah. Kehidupan guyup di wilayah itu terbantu oleh pandangan masyarakat yang terbuka dan toleran.

Pagi buta itu, Pak Nasir menyiapkan gudeg Jepara yang luar biasa lezat. Kikilnya agak putih. Nasinya menyatu dengan kuah gudeg berwarna lebih putih yang tak lazim saya makan. Dia bilang ini gudeg cepat sekali habis. Dua jam saja sudah ludes. Tadi dia antre membeli gudeg bersama Pak Bupati yang juga pelanggan rutin.

Jepara terkenal kota yang damai dan harmonis dalam kehidupan beragama. Sunnah dan Syiah sering melakukan program bersama atau bermusyawarah merumuskan sesuatu hal. Mereka berembuk menyelesaikan masalah kota dan soal-soal sosial keagamaan. Mulai dari kematian, acara ritual besar Islam hingga shalat Jumat bersama.

Pernah suatu kali, mereka kompak menghalau provokator dari daerah lain yang mencoba membuat panas kota Jepara dengan membawa-bawa Perang Suriah dan propaganda isu Sunnah-Syiah. Kelompok Islam di Jepara menolak tegas provokasi seperti itu agar tidak dilakukan di Jepara. Provokator diusir!

Islam dan agama lain di Jepara juga hidup rukun. Jepara punya modal sosial yakni masyarakat yang dewasa dan terbuka. Selain kenyataan bahwa Jepara terkenal sibuk sebagai kota ukir dan mebel.

Jepara punya kepemimpinan politik dari seorang bupati yang berwibawa terutama karena sifat kenegarawanannya di soal-soal agama dan ruang publik. Bupati Jepara Ahmad Marzuki, yang berasal dari kalangan santri, merangkul semua kelompok agama di Jepara.

Persis jam 9 pagi, kami kembali ke Hotel Elim. Masuk ke kamar, bersih-bersih lalu menuju aula acara untuk registrasi. Sejumlah peserta tampak sudah berkumpul di ruangan.

Para peserta umumnya pengurus Ormas Ahlulbait Indonesia dari pelbagai daerah. Ada sekitar 16 perwakilan daerah datang ke tempat itu. Mulai dari Jawa, Kepulauan Riau, Kalimantan, hingga Sulawesi.

Mereka berkumpul untuk mengikuti workshop bagaimana menjadi humas kredibel dan pengurus organisasi yang cakap membangun suasana rukun dan damai di tempatnya masing-masing berbekal perspektif resolusi konflik. Acara itu berlangsung selama 3 hari difasilitasi DPP Ahlulbait Indonesia (ABI).

Saya bersama beberapa kawan YLBHU datang membantu DPP ABI merancang dan menyelenggarakan acara sesuai tujuan. Farid Gaban menjadi salah satu narasumber bersama Samsu Rizal Panggabean dari Universitas Gadjah Mada dan Muhammad Miqdad dari Institut Titian Perdamaian.

Jepara menjadi tuan rumah karena dianggap menjadi contoh keberhasilan bina damai terutama antara Sunnah-Syiah. Ada banyak hal bagus dari Jepara dalam kerja sama Sunnah-Syiah di level akar rumput yang telah terjalin sangat baik. Mulai dari ritual bersama, musyawarah bersama, hingga bakti sosial.
Muslim di Jepara menjadi model dalam resolusi konflik karena berhasil mempertahankan bina damai sebagai jalan keluar mengusir konflik. Di Jepara ada begitu banyak perbedaan, tetapi juga ada begitu banyak solidaritas sosial untuk mempertahankan hidup bersama yang manusiawi dan beradab. Jepara mengajarkan bahwa kita tak harus bersatu, yang dibutuhkan justru solidaritas sosial di tengah perbedaan.
Acara dibuka oleh sambutan Ustad Miqdad Turkan selaku tuan rumah dan Ustad Hassan Alaydrus sebagai Ketua Umum DPP Ahlulbait Indonesia.
Keduanya berceramah tentang pentingnya persaudaraan di dalam Islam dan jangan terprovokasi hasutan kebencian serta pecah-belah yang secara sistematis terjadi di Indonesia.
Ustad Hassan menekankan sesuatu yang tak lazim dari ceramah-ceramah agama lainnya namun terasa sangat penting: pembebasan nasib rakyat Indonesia dari kebodohan, kekurangan gizi dan kebergantungan yang menyesakkan kepada materialisme dan kapitalisme.
Selama 3 hari sesi acara, saya menyaksikan bagaimana para peserta mempresentasikan daerah mereka: cara mereka melihat dunia, realitas yang mereka hadapi dan memahami sikap pemerintah yang kerap abai.
Mereka mengikuti sesi demi sesi dengan serius dan bersemangat. Mereka bertanya, menulis, simulasi kelompok dan presentasi. Sebagian dari mereka sudah berusia lebih dari 50-an tahun. Pada derajat tertentu keseriusan mereka membuat saya sangat terharu.
Saat presentasi program tiba, setiap daerah menjelaskan apa yang mereka lakukan untuk membangun situasi damai di daerah masing-masing.
Apa yang mereka lakukan jauh dari sempurna, tetapi dengan segala keterbatasan, para peserta sampai pada renungan bahwa cara terbaik mempertahankan situasi damai di daerah mereka justru dengan tidak mengumbar perbedaan melainkan menemukan sebanyak mungkin kepentingan dan kebutuhan bersama.
Sunatan massal, fogging, donor darah, perbaikan gizi balita, bedah rumah, kesehatan gratis, bangun jembatan, tanggap darurat, menyebut di antara yang mereka lakukan di daerah masing-masing. Pelayanan sosial dan contoh teladan mereka anggap sebagai cara terbaik menjadi muslim Syiah di Indonesia dan teruji secara sosial.
Ada kesadaran kuat di tengah orang Syiah, setidaknya di antara peserta yang hadir, bahwa menjadi Syiah dan menjadi Indonesia adalah dua hal yang tak terpisahkan. Mereka ingin hidup dan mati menjadi Syiah dan orang Indonesia sekaligus. Saat pembukaan acara, hal pertama yang mereka lakukan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Indonesia dan negara-bangsa sering mereka sebut-sebut sebagai tempat pengkhidmatan sosial daripada ajang perebutan sektarianisme.
Usai makan malam dan masih di meja makan, saya bertanya kepada narasumber Pak Rizal dan Pak Miqdad.
“Apa kesan dan penilaian Anda, setelah mendengar dengan bahasa sehari-hari bagaimana orang Syiah Indonesia melihat dunia ini?”
“Pede. Mereka tahu bahwa mereka minoritas tapi tidak merasa sebagai korban. Mereka tahu masalah yang mereka hadapi tapi tak bergaya defensif. Siap menghadapi masalah. Bahkan punya solusi. Ini modal sosial yang bagus,” ucap Rizal Panggabean.
Muhammad Miqdad di samping Rizal Panggabean menambahkan “Mereka sangat terorganisir. Iman mereka yang membuat mereka tabah dan bersemangat,” ucapnya.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Prev Post Next Post