Memahami Delik Hukum Tanah Lewat Kasus Penggusuran

April 17, 2017Admin

Belakangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gencar menggusur. Bukit Duri dan Kalijodo adalah dua dari sekian banyak lokasi penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI, yang kemudian menjadi viral di media sosial.

 

Penggusuran, dalam praktiknya, berbeda tipis dengan pengadaan tanah yang secara awam dikenal dengan istilah pembebasan lahan—kendati keduanya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan sama-sama digolongkan dalam belanja modal tanah. Perbedaan terletak pada kedudukan hukum antara pemerintah dan rakyat yang berakibat pada ada-tidaknya ganti rugi.

Dalam penggusuran, kedudukan hukum antara pemerintah (penggusur) dan rakyat (tergusur) tidak setara, lain halnya dengan pengadaan tanah. Dalam penggusuran (yang sah; legal), sudah pasti tanah lokasi penggusuran secara formal dan material merupakan hak milik pemerintah, sehingga tergusur tidak berhak atas ganti rugi. Dalam pengadaan tanah, terdapat pelepasan hak objek pengadaan tanah dengan cara pemberian ganti rugi kepada pihak yang berhak dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disepakati bersama. Jika Pemprov DKI melakukan penggusuran secara legal, sudah pasti tanah yang menjadi lokasi penggusuran secara formal dan material benar-benar dimiliki dan dikuasai Pemprov DKI dan, dengan demikian, tercatat dalam laporan keuangan Pemprov DKI. Tergusur dalam hal ini adalah pihak ilegal karena menduduki tanah yang bukan haknya selama ia tidak dapat menunjukkan bukti formal pemilikan atau penguasaan tanah. Sesuai PP 71/2010, seluruh biaya penggusuran semestinya menambah nilai aset tetap tanah yang tercatat dalam laporan keuangan Pemprov DKI tersebut.

Lain soal bila tanah yang menjadi lokasi penggusuran belum tercatat dalam laporan keuangan Pemprov DKI, tidak ditemukan bukti formal pemilikan tanah atas nama Pemprov DKI, dan/atau terdapat pihak yang dapat menunjukkan bukti formal pemilikan atau penguasaan atas tanah yang ia duduki. Tentu dalam hal ini berlaku mekanisme pengadaan tanah: harus ada pemberian ganti rugi kepada pihak yang berhak, tanah hasil pengadaan harus disertifikatkan, dan segala biaya pengadaan tanah mesti dikapitalisasi menjadi aset tetap tanah pada laporan keuangan Pemprov DKI.

Dengan demikian, baik dalam penggusuran maupun pengadaan tanah sesungguhnya tetap berlaku mekanisme pengadaan tanah sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum berikut derivatnya, yang diselenggarakan melalui tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil. Betapa penting tahap perencanaan, persiapan, dan penyerahan hasil, sebab dengan melakukan tahap ini pemerintah dapat terhindar dari perilaku sewenang-wenang terhadap rakyat dan, di sisi lain, kerugian negara dapat tercegah.

Pembebasan Lahan dan Kerugian Negara

Hal yang luput dari perhatian publik ialah bahwa pengadaan tanah yang secara awam dikenal dengan istilah pembebasan lahan itu tidak melulu berkaitan dengan kesewenang-wenangan dan penindasan negara terhadap rakyat, tapi juga kemungkinan terjadinya kerugian negara akibat penyimpangan, perbuatan melawan hukum, atau tindak pidana korupsi.

Sejumlah kasus, misalnya kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Pelabuhan Dorak di Kabupaten Kepulauan Meranti, kasus dugaan korupsi lahan Warung Jambu Dua di Kota Bogor, dan kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan Kampus III IAIN Imam Bonjol di Kota Padang, menunjukkan bahwa dalam pengadaan tanah rentan terjadi penyelewengan. Penyelewengan dilakukan oleh mereka yang tahu pasti bahwa mekanisme pengadaan tanah begitu rumit sehingga tidak banyak orang dapat memahami dan, di sisi lain, juga mengandung celah hukum yang dapat digunakan untuk merampok uang negara.

Celah hukum yang mulai terkuak ialah ketentuan pengadaan tanah skala kecil yang diatur dalam derivat UU Nomor 2 Tahun 2012, yakni Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perpres 71/2012 ini telah mengalami empat kali perubahan, yakni dengan Perpres 40/2014, Perpres 99/2014, Perpres 30/2015, dan Perpres 148/2015.

Dengan Perpres 40/2014, Pasal 121 Perpres 71/2012 diubah menjadi, “Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari lima hektare dapat langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.”

Perpres 71/2012 memiliki derivat sebagai amanat Pasal 111 ayat (2)-nya yang menyatakan bahwa petunjuk teknis tahap pelaksanaan pengadaan tanah diatur oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional. Derivat tersebut ialah Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Perka BPN 5/2012 ini telah diubah dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 2015.

Terkait dengan pengadaan tanah skala kecil, Perka BPN 5/2012 sebagaimana diubah dengan Perka BPN 6/2015 memuat ketentuan tambahan yang menyatakan bahwa pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari lima hektare dapat dilakukan langsung tanpa melalui tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah yang diatur dalam UU 2/2012 dan peraturan pelaksanaannya.

Pengamat hukum yang jeli pada gilirannya akan mencatat, Perka BPN 5/2012 sebagaimana diubah dengan Perka BPN 6/2015 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni UU 2/2012 dan Perpres 71/2012, yang sejatinya hanya memberi wewenang Kepala BPN untuk mengatur petunjuk teknis tahap pelaksanaan pengadaan tanah. Perka BPN 5/2012 sebagaimana diubah dengan Perka BPN 6/2015 telah melampaui kewenangan dengan menyatakan bahwa pengadaan tanah skala kecil dapat dilakukan tanpa melalui tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah yang terdiri atas tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil.

Pintu Masuk Masalah

Perka BPN 5/2012 sebagaimana diubah dengan Perka BPN 6/2015 pada akhirnya menjadi “pintu masuk” bagi instansi yang memerlukan tanah untuk melakukan pengadaan tanah tidak lebih dari lima hektare tanpa melalui tahap perencanaan, persiapan, dan penyerahan hasil. Praktik yang kemudian terjadi ialah pemecahan pengadaan tanah dalam dua atau lebih tahun anggaran dengan tujuan agar dapat dilakukan pengadaan tanah skala kecil yang tidak memerlukan tahap perencanaan, persiapan, dan penyerahan hasil.

Absennya tahap perencanaan, persiapan, dan penyerahan hasil dalam penyelenggaraan pengadaan tanah merupakan sinyal (red flag) terjadinya penyimpangan yang berujung pada kerugian negara. Lebih lanjut, hal itu menyebabkan beberapa hal. Pertama, timbulnya dampak lingkungan dan sosial-ekonomi akibat pengadaan tanah, sebab instansi yang memerlukan tanah tidak melakukan studi kelayakan sesuai tahap perencanaan.

Kedua, ganti rugi diberikan kepada pihak yang tidak berhak sehingga tanah tidak dapat dimiliki dan dikuasai secara formal dan material oleh instansi yang memerlukan tanah. Atau, sebenarnya tidak perlu dilakukan pemberian ganti rugi karena tanah tersebut merupakan tanah negara. Hal tersebut tidak akan terjadi jika dilakukan tahap persiapan yang memuat pengumpulan data awal pihak yang berhak menerima ganti rugi.

Ketiga, instansi yang memerlukan tanah tidak merasa perlu untuk melakukan pendaftaran atau sertifikasi tanah sebagaimana diatur dalam tahap penyerahan hasil. Hal ini mengakibatkan tanah hasil pengadaan tidak kuat secara pengendalian intern sehingga rentan dilakukan pengadaan atas tanah yang sama di kemudian hari.

 

Sumber : http://geotimes.co.id/memahami-delik-hukum-tanah-lewat-kasus-penggusuran/

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Prev Post Next Post