Caleg dan Parpol Dianggap Abai pada Isu Kebebasan Beragama

April 1, 2014Admin

Korban pelanggaran kebebasan beragama menilai kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih buruk. Ironisnya, isu kebebasan beragama ini tidak menjadi perhatian bagi partai politik maupun calon legislatif menjelan Pemilihan Umum 2014.

Direktur Setara Institut Hendardi mengatakan, para caleg perlu dikritik karena abai terhadap hal kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Tidak ada caleg atau parpol yang memasukkan isu ini dalam visi-misi mereka sejak kampanye terbuka 16 Maret lalu,” kata Hendardi dalam pemaparan hasil survei “Suara Korban Kebebasan Beragama/Berkeyakinan”, Selasa (1/4/2014) di Jakarta.

Isu kebebasan beragama, kata Hendardi, kurang “seksi” bagi partai politik atau caleg dalam berkampanye. Caleg dan parpol menganggap suara korban yang merupakan kaum minoritas tidak berpengaruh besar pada pemilihan.

Sementara itu, Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institut Bonar Tigor Naipospos menilai keliru pandangan kelompok minoritas tidak signifikan dalam pemilu. Melansir data Badan Pusat Statistik 2010, Bonar mengatakan bahwa saat ini ada kecenderungan pemilih memilih partai nasionalis. Selain itu, isu kebebasan beragama di Indonesia saat ini juga menjadi sorotan internasional.

“Kita lihat pada Pemilu 1955, suara mayoritas pada parpol islam. Pada pemilu selanjutnya, saat kepercayaan pada parpol islam mulai pudar, suara pemilih beralih pada partai nasionalis yang besar saat ini,” ujarnya.

Melalui metode wawancara langsung kepada seratus responden korban kebebasan beragama dari berbagai latar belakang, Setara mencatat 95 persen responden menyatakan kondisi kebebasan beragama buruk. Tidak ada (nol persen) responden menyatakan baik dan lima persen sisanya menyatakan tidak tahu.

Berdasarkan data survei itu, korban menilai 67 persen politisi tidak paham dengan isu pelanggaran kebebasan beragama. Delapan persen responden menganggap hal itu disebabkan isu kebebasan beragama kurang laku untuk mendulang suara. Adapun 18 persen lainnya merasa isu ini sebagai isu privat yang tidak bisa “dijual” dalam kampanye.

Kondisi tersebut dirasakan langsung oleh Dian Jeni Cahyawati dari Badan Koordinasi Aliran Kepercayaan. Menurutnya, atmosfir kebebasan berkeyakinan tidak berubah signifikan, terutama untuk hak konstitusi penganut aliran kepercayaan.

“Ketika hanya percaya enam agama yang diakui negara, banyak penganut kepercayaan asli merasa terpinggirkan terutama berkaitan dengan pendidikan, kependudukan, pemakaman. Belum lagi tekanan dari masyarakat setempat yang memberi stigma buruk secara psikologis. Anak-anak di sekolah dipaksa mengakui salah satu dari enam agama,” ujarnya. Ia berharap pada Pemilu 2014 muncul pemimpin tegas dan memiliki komitmen untuk menciptakan atmosfir kebebasan berkeyakinan.

Sementara itu, Palti Panjaitan dari Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Sobat KBB) menilai keadaan kebebasan beragama semakin memburuk karena Presiden Susilo Bambang Yudhyono dalam dua periode kepimpinannya tidak memberikan penyelesaian tegas pada setiap kasus pelanggaran.

“Karena itu, harapan korban pada Pemilu 2014 sangat tinggi. Korban berharap pelanggaran selesai ketika masa kepemimpinan presiden ini selesai,” katanya.

sumber : http://indonesiasatu.kompas.com

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Prev Post Next Post